Kontemplasi 11-tahun Bersama WordPress

Haloha, dapat notification dari wordpress kalau dua hari lalu blog saya sudah berusia 11 tahun. Wah tidak terasa yah! Seingat saya, tujuan menulis di dunia maya berawal saat saya memiliki cukup banyak waktu luang untuk menceritakan kegiatan-kegiatan yang saya jalani, seperti jalan-jalan. Ketika masih rajin naik turun gunung (sebulan bisa 2x dong!), saya selalu menuliskan catatan perjalan di blog ini, saat itu blog saya menjadi salah satu yang cukup hits pada masanya, dulu namanya gadisrantau.wordpress.com. Mayoritas tulisan saya di periode 2011 – 2015 adalah tentang gunung dan hutan, semua tentang jalan-jalan. Meskipun ada juga kisah pribadi yang senang dan sedih, hehe.

Pada tahun awal 2015, saya mengganti nama blog menjadi arsiyawenty.wordpress.com, awalnya sudah berniat untuk memakai domain sendiri. Namun, tujuh tahun berlalu, niat ini belum juga terealisasi. Alasan utamanya karena saya mulai tidak begitu aktif menulis, terutama setelah menyelesaikan studi dari Belanda dan kembali ke Indonesia. Minat saya menulis semakin menurun, kalau diperhatikan, sejak 2018 rata-rata saya hanya menghasilkan 1 atau 2 tulisan per tahun, wow! Penyebab utama karena saya sibuk mengerjakan urusan keluarga dan tidak memiliki waktu luang yang cukup untuk bisa menulis. Saya merasa main dengan anak jauh lebih penting dan dibutuhkan daripada meluapkan cerita dalam tulisan di dunia maya.

Namun, belakangan ini, tepatnya setelah membaca buku karya Robin Sharma (pertengahan 2022) yang berjudul The Monk Who Sold His Ferrari, saya mulai menulis lagi. Tetapi, kali ini saya menulis manual di buku harian, cerita tentang hari-hari dan rutinitas yang saya jalani. Sayangnya, komitmen menulis itu meredup di hari ke-20, sejak itu rasa malas kembali mengalahkan niat aktif menulis. Mungkin menulis rutinitas itu membosankan karena isinya ya itu lagi itu lagi. Ada baiknya saya menulis peristiwa yang menarik dan berbeda dari rutinitas harian saja, mungkin ya.

Oh ia, tulisan saya pernah juga bersifat lebih formal, dimuat dalam Harian Kompas, 1x di tahun 2021. Setelah itu, saya kembali vakum, hilang dari peredaran dan malas menulis. Mungkin juga, menulis itu tidak perlu dikategorikan atau dibatasi oleh topik, menulis saja apa yang ada dipikiran. Segera menulis ketika niat itu muncul, jangan menunggu sampai semangatnya tinggi, nanti redup dan malas lagi. Seperti tulisan ini misalnya, saya mengetik apa saja yang ada dipikiran, tanpa topik tanpa batas. Dan ini ini masih jam kerja. Saya beruntung karena selama pandemi (sejak Maret 2020) kantor tidak mewajibkan kehadiran fisik, jadi bisa bebas kerja dari rumah. Saya jadi tidak lelah di jalan dan punya banyak waktu untuk diri sendiri, seperti misalnya baca koran, baca buku, olahraga, dan berkebun.

Kondisi saya saat ini menyenangkan, kehidupan semakin berkualitas. Perubahan yang besar terjadi dari cara saya memaknai kehidupan dari yang sepele sampai yang cukup berat. Mentalitas saya semakin dewasa, meskipun masih sering ada celah egoisnya juga. Saya sudah bisa mengontrol emosi negatif dengan memberi waktu lebih besar untuk pikiran positif. Saya jadi lebih dewasa dan kurang egois, karena saya menyadari atau lebih tepatnya tersadar oleh keadaan kalau saya tuh dulu egois banget yah! haha everybody is changing.

Sejak pertengahan 2019 sampai hari ini, saya tinggal di Bandung Coret, loh kok? Ia karena lokasinya sudah di perbatasan antara Kota Bandung dan Kabupaten Soreang, di Taman Kopo Indah. Belakangan ini saya bersyukur bisa tinggal di TKI, soalnya kita punya Tol Margaasih Timur. Bisa terbebas dari macet, meskipun biaya tolnya mahal. Keputusan untuk beli mobil di akhir tahun 2021 menjadi tipping point meningkatnya kebahagian saya. Ternyata kendaraan ini memudahkan saya kemana-mana, saya bisa ke kantor dengan nyaman, bisa main bareng keluarga dalam kondisi cuaca apapun, hujan panas bisa jalan, bebas hambatan.

Keputusan untuk beli mobil tercetus begitu saja, awalnya karena waktu itu saya, suami, dan anak kehujanan pulang dari Lembang Park Zoo. Waktu itu kita naik motor, saya kesal sekali dan langsung semangat bongkar tabungan untuk beli mobil. Dan ternyata keputusan itu tepat, lelah juga berhemat dan selalu menabung tapi menggerutu setiap mau keluar rumah, karena panas atau hujan. Apakah ini kebutuhan atau keinginan, saya tidak begitu berfikir panjang saat itu. Setelah punya mobil, saya jadi bisa mulai main basket lagi, lokasinya jauh sih di Bandung Utara, tetapi karena ada akses tol, semua jadi mudah dan lancar. Selain itu, kami sekeluarga jadi bisa menikmati hidup, terutama karena jadi mudah untuk kemana saja.

Nah, saya juga punya sepeda, lumayan bisa keliling komplek cari keringat dan kontemplasi, cari inspirasi. Olahraga itu bermanfaat sekali, terutama untuk me-refresh pikiran, badan lebih bugar, kulit lebih halus dan cerah, banyak deh manfaatnya. Dalam seminggu, saya bisa lari, berenang, main sepeda, dan basket. Aktivitas ini membantu saya untuk merasa lebih rileks dan bahagia. Saya mengerjakan ini saat anak sedang sekolah dan sebelum jam kerja, pagi hari sebelum jam 10.00 WIB.

Panjang juga nih tulisan kali ini, plotnya juga tidak teratur, tidak dibatasi topik, ketik semua yang ada di pikiran. Mungkin sudah saatnya kembali aktif menulis di dunia maya ya, segera menulis ketika ingin dan tidak perlu banyak rencana, jalanin aja gitu yah. Terima kasih wordpress sudah memberikan ruang untuk menuliskan kelana hidup yang kalau dibaca ulang seru juga. I am back!

Posted in Sosial | 2 Comments

Emas Hijau di Tanah Pasundan

Pagi itu, udara sangat cerah, saya bahkan bisa melihat fatamorgana di aspal yang terlihat anyar, bekelok dan bertepi jurang. Aspal itu masih mulus dan hitam pekat. Saya memarkirkan kedaraan 500 meter dari tujuan utama, di sudut gerbang sekolah dasar, Pak Ovi sudah menunggu. Kami bertegur sapa kemudian memilih untuk jalan kaki menuju lokasi pembenihan vanili. Sepanjang jalan, Pak Ovi bercerita singkat tentang desanya, yang sejak 2020 mulai dilirik media massa, karena menghasilkan benih vanili dengan harga melampaui logam mulia. Orang mulai banyak menyebutnya sebagai Emas Hijau.

Pak Ovi dan Budidaya Benih Vanili

Aroma kopi menyambut kedatangan saya di lokasi budidaya benih vanili. Tidak begitu luas, terletak di Dusun Cisumur, Desa Pamekarsari, Kecamatan Suran, Kabupaten Sumedang. Sambil menyeruput kopi dan menghisap tembakau, Pak Ovi memulai kisahnya. Saat itu ia masih remaja, sering melihat bapaknya berkumpul bersama rekan petani lainnya di Balai Desa, bertukar ilmu budidaya vanili. Menurutnya, vanili sudah ditanam di dusun sejak 1984, namun pengolahannya masih tradisional dan tidak terorganisir. Kemudian, pada periode awal 1990-an, harga vanili pernah terjun bebas, menyebabkan banyak petani kecewa. Mereka sengaja membakar lahan dan menggantinya dengan lada putih atau jahe merah. Kisah memilukan ini yang menyebabkan jeda cukup panjang, vanili mulai dilupakan.

Pada awal tahun 2010, Pak Ovi mulai tertarik mencoba budidaya vanili. Alasannya sederhana, karena sudah bosan dengan lada putih. Berbekal keberanian, disiplin, dan pantang menyerah, usaha Pak Ovi mulai membuahkan hasil. Saat ini, ada 100 petani vanili dengan total luas lahan 15 Ha, varietas yang ditanam adalah Planipolia (unggul lokal). Pak Ovi lebih fokus menjual benih ke para petani atau pemerintah setempat. Baru dua tahun belakangan ini ia memulai budidaya untuk produksi polong basah dan kering. Menurutnya, investasi dan risiko pascapanen lebih tinggi daripada budidaya benih.

Butuh waktu minimal 3 tahun untuk budidaya vanili. Satu tahun pertama dihabiskan untuk persiapan lahan; menanam tajar dan naungan. Vanili membutuhkan tajar untuk merambat, tinggi media tajar ini maksimal 2 meter, tujuannya untuk memudahkan pemeliharaan. Varietas yang sering digunakan adalah Kedondong Cina dan Kelor. Sedangkan naungan berfungsi untuk melindungi vanili dari terpaan sinar matahari langsung. Pohon naungan tidak boleh terlalu rimbun, vanili yang lembab akan cepat busuk dan rentan penyakit. Namun, naungan juga tidak bisa terlalu kecil, vanili cepat hangus dan mati jika terlalu panas. Pohon yang biasa digunakan adalah Pete dan Sengon.

Pak Ovi biasa menjual bibit vanili dengan harga Rp 12,000/benih, kadang ia juga membagikan gratis kepada para petani di dusun. Menurutnya, investasi awal budidaya vanili cukup tinggi, sekitar Rp 200juta per Ha. Setelah itu, pemeliharaan menghabiskan biaya maksimal Rp 1,5juta per bulan. Pengeluaran cukup tinggi ketika masa penyerbukan, karena vanili membutuhkan bantuan manusia untuk dapat berbunga, setidaknya butuh Rp 15jt per Ha. Jika penyerbukan berhasil, bunga akan menghasilkan polong. Produktivitasnya mencapai 2kg/pohon, dalam 1 Ha dapat ditanam 3500 pohon, sehingga total produktivitas per Ha adalah 7 ton polong basah.

Budidaya vanili itu melatih kesabaran dan ketelitian“,- Ujar Pak Ovi. Setelah penantian 2 – 3 tahun, polong basah bisa langsung dijual, harganya cukup tinggi mencapai Rp 150ribu/Kg. Yang mengagumkan adalah harga polong kering, pernah mencapai angka yang fantastis, Rp 6,5juta/Kg. Namun, saat ini, harganya stabil di Rp 1,5juta/Kg, kok bisa yah? Proses pascapanen untuk menghasilkan polong kering bukan hal mudah, diperlukan ketekunan selama tiga bulan untuk mengeringkan secara natural dibawah sinar matahari, maksimal 2 jam. Paling baik dijemur pada jam 10.00 – 12.00. Proses ini memakan waktu karena petani harus mampu mengeringkan polong basah tanpa memecah aroma dan mereduksi kadar vanilin pada polong. Rendemen polong basah menjadi polong kering juga cukup tinggi 1:5 atau 20%. Vanili yang mahal adalah yang tidak terlalu kering, elastis, tidak mudah patah, dan berkadar vanilin minimal 2,75%.

Benih Vanili Siap Panen

Matahari semakin terik, ketika perut saya mulai bernyanyi. Mungkin terdengar oleh Pak Ovi, karena saat itu juga, ia menawarkan saya untuk mampir ke rumahnya, makan siang. Nasi, ikan goreng, sambal terasi, lalapan hijau, dan pete goreng sudah terhidang. Terlihat lezat dan saya semakin lapar dibuatnya. Istri Pak Ovi menyambut kedatangan kami, sambil membawa teh hangat, ia ikut duduk menyantap hidangan bersama. Selama makan, kami bertukar kisah tentang kehidupan, tentang pilihan jalan hidup. Menurut Pak Ovi, keputusannya untuk menetap di desa dan menjadi petani sudah tepat. Ia mengaku berpenghasilan tidak jauh berbeda dengan orang-orang desa yang merantau ke kota. Ia bahkan tertawa ketika menyadari bahwa penghasilannya dari menjual benih vanili lebih besar dari total penghasilan saya per tahun. “Kalau gitu, saya makin semangat teh bertani, ke kota juga paling jadi kuli“,- ungkap Pak Ovi. Rumah Pak Ovi termasuk yang mewah untuk ukuran desa, terlihat baru dibangun. Katanya rumah ini adalah murni hasil bertani, kombinasi hasil panen lada putih dan vanili dari kebunnya.

Setelah makan, kami duduk di teras rumah Pak Ovi, matahari mulai meredup, angin sore mulai bertiup. Untuk melawan kantuk, Pak Ovi menawarkan kopi buatan istrinya, saya menolak dan memilih teh manis. Pak Ovi melanjutkan kisahnya tentang vanili, kali ini fokus di proses pascapanen. Setelah berbuah dan siap panen, polong basah dicelupkan kedalam air mendidih (80’C) selama 2 – 3 menit, kemudian ditiriskan. Esok harinya, proses pengeringan yang panjang dimulai. Polong basah diletakkan diatas para (bambu untuk menjemur) yang sudah dilapisi kain hitam. Setelah pengeringan kain hitam ini digulung perlahan bersama polong, didiamkan di udara terbuka sampai dingin. Setelah itu, untuk menjaga aroma, gulungan kain dan polong dimasukan kedalam media hampa udara. Saat ini, Pak Ovi hanya menyimpannya di dalam kardus atau sterofoam yang ditutup rapat. Proses ini diulang setiap hari selama 3 bulan, sampai polong menjadi kering dan elastis. Voila! Emas hijau siap dijual.

Langit makin gelap, sekumpulan awan comulonimbus mulai berkejaran menutupi langit biru, saya langsung bergegas pamit ke tuan rumah. Membayangkan jalanan penuh lumpur dan licin saat hujan menjadi alasan utama saya terburu-buru ingin pulang. Fatamorgana di aspal sudah berganti dengan rintikan hujan dan genangan air. Ilusi optik itu pudar seiring tertutupnya matahari dan basahnya jalanan aspal. Sama halnya dengan fatamorgana, harga vanili akan menjadi ilusi jika tidak dikelola dengan baik dan profesional dari hulu hingga ke hilir. Jika semua pihak gelap mata karena harga emas hijau ini melambung tinggi, kemudian meningkatkan produktivitas dengan intensifikasi maksimal, tanpa perencanaan hilirisasi yang baik, maka hukum ekonomi akan memainkan perannya. Supply yang lebih tinggi dari demand, akan selalu merugikan petani. Tidak menutup kemungkinan, sejarah memilukan vanili di Tanah Pasundan pada awal 1990-an bisa terulang. Sehingga dibutuhkan pendekatan holistik dan mapan, agar emas hijau ini bisa tetap berkilau. Semoga!

Bandara Soekarno-Hatta, 22 Maret 2022

Posted in Jalan-Jalan | Leave a comment

Pohon Kelor dan Penulis Pemula

Pohon kelor (Moringa oleifera) di depan ruang kerja saya (sekaligus kamar tidur) akhirnya berdaun juga, cukup banyak dan bisa dikonsumsi. Sejak pandemi ini, konsumsi daun kelor meningkat, katanya dapat mengoptimalkan imunitas tubuh. Sejak ditanam dengan cara stek batang tanpa bantuan pupuk organik maupun kimia, pohon itu lama tak berdaun. Berbeda dengan pohon induknya, yang berdaun sangat lebat. Sayangnya, sejak eksploitasi daun diambil sampai habis, dan batangnya dipatahkan untuk memperbanyak diri, pohon induk itu tampak layu dan malas tumbuh. Nasib induk dan calon pohon, sama. Mungkin, karena cuaca pada semester pertama 2021 ini sangat lembap dan berangin, daun-daun itu sulit berkembang. Hujan angin yang mengguyur berhari-hari sejak Januari selalu menggugurkan calon daun. Beberapa lembar bermunculan, tetapi menguning dan layu setelah hujan, kemudian berguguran.

Minggu lalu, saya sempat mengirimkan naskah ke media cetak, katanya saya akan menerima balasan dalam sehari masa tunggu. Sayangnya, ini sudah hari ketiga, tetapi saya tidak juga mendapkan kepastian apakah naskah saya diterima atau dikembalikan. Rekan lainnya bilang, naskahnya baru direspon setelah empat bulan. Yang lain lagi, setelah satu bulan. Ada juga yang seminggu, baru mendapat kepastian. Menunggu memang melelahkan, apalagi tanpa kepastian. Para rekan itu menyarankan agar saya melupakan setiap naskah yang dikirimkan ke media, terutama media cetak nasional. Metodenya sederhana: tulis – kirim – lupakan. Mungkin, personal blog memang pilihan paling mujarab untuk penulis amatir yang tidak sabaran, seperti saya. Karena, dengan menulis di laman pribadi, saya tidak perlu memikirkan waktu publikasi, hanya mempertimbangkan kepuasan dan minat pribadi, dan tidak perlu menunggu, kebebasan.

Hari ini, saya melihat sisi berbeda dari tumbuh kembang pohon kelor. Batangnya kecil, tinggi, dan pucuknya mulai banyak daun. Mungkin itu strategi si pohon, agar distribusi asupan makan hasil fotosintesis dapat tersalurkan dengan baik, sesuai kebutuhan batang yang kecil dan ramping itu. Bayangkan, jika batang kelor itu tumbuh besar dan tinggi, mungkin jumlah daun yang sedikit itu tidak akan mampu memberi asupan makanan. Mungkin, air dan unsur lain dari akar tidak akan mampu sampai ke daun, karena habis dikonsumsi oleh batang. Tetapi, apakah tumbuh kembang tanaman (kelor) seperti itu? Atau ini sekedar imajinasi dan asumsi, yang datang ketika saya bosan. Lumayan, memikirkan hal-hal sederhana diluar aktivitas harian. Kasian si kelor.

Saya rasa, naskah saya terlewat, mungkin belum nasibnya dimuat di media cetak. Atau mungkin, saya perlu strategi, seperti pohon kelor. Mengirimkan naskah ke media yang kecil, ramping dan tinggi, media daring misalnya. Atau media cetak yang lebih kecil skala publikasinya, misalnya kabupaten atau provinsi. Mungkin juga, saya hanya harus lebih sabar, tetap produktif menulis, kirim terus, dan terus lupakan. Begitu ya!

Selatan Bandung, Juli 2021.

Updated. Akhirnya naskah saya dipublikasikan oleh Harian Kompas tepat pada peringantan Hari Koperasi, berikut linknya.

Posted in Sosial | Leave a comment

Gagasan Korporasi Petani Model Koperasi

Saat ini saya sedang mengamati perkembangan dan pergerakan Koperasi Pertanian di Indonesia, beberapa pendapat saya tulisakan dalam Blog lain yang lebih fokus tentang Koperasi. Silahkan melirik empat tulisan awal saya tenang topik ini, semoga bermanfaat ya!

  1. Koperasi Kotemporer vs Koperasi Tradisional
  2. Imajinasi Koperasi
  3. Putus Rantai Kemiskinan Petani dengan Koperasi (?)
  4. Ekuilibrium Gagasan Koperasi di Indonesia

Selamat membaca!

Bandung, sedang hujan, dan saya lapar.

Posted in Jalan-Jalan | Leave a comment

Andai Saya Punya Ruang Baca

Sudah lama tidak menulis, pandemi dan tidak bertemu banyak orang membuat saya sulit mengembangkan ide tulisan. Seperti pagi ini, saya ingin menulis, tetapi tentang apa saya juga ragu. Mungkin, bisa dimulai dengan keinginan ya, katanya manusia itu hakikatnya suka bemimpi dan berandai-andai, suka memikirkan apa-apa yang tidak atau belum dimiliki. Contohnya pagi ini, bangun tidur saya langsung ingin punya ruang baca pribadi. Sepertinya keinginan ini bukan hal baru, mungkin berawal dari ketika saya menginjak usia 14 tahun.

Kegilaan saya membaca sebenarnya sudah dimulai saat saya masih sekolah dasar, saat itu saya suka sekali membaca buku pelajaran. Karena saya tidak kenal komik atau novel saat itu, selain karena tidak mampu membeli, saya dibebani oleh pola pikir yang setiap mau membeli sesuai dihadapkan pada pertanyaan “kenapa mau beli itu? apa manfaatnya? mendukung masa depan gak?”. Dulu, saya sering kesal jika ditanya seperti itu, mungkin karena saya masih kecil. Sering saya berandai-andai punya toko buku sendiri. Dasar anak kecil! Namun, lambat laun saya menyadari, ketika itu kondisi ekonomi keluarga sangat pas-pasan, jadi orang tua saya harus pandai mengelola pengandaian, apalagi yang datangnya dari anak kecil dan atau remaja.

Ketika SMP, tidak jauh dari sekolah, ada banyak tempat menyewa buku, komik, dan novel. Ketika itu tahun 2003, novel-novel teenlit dan metropop sedang naik daun, selain novel luar sekelas Harry Potter juga jadi rebutan. Karena saya tidak mampu membeli di Gramedia, biasanya saya jalan kaki dari sekolah ke toko buku itu, kebetulan tidak jauh dari Gramedia, ada toko buku lain, Fajar Agung, kalau tidak salah itu namanya. Lokasinya cukup jauh dari sekolah, tapi saya lebih memilih untuk jalan kaki, soalnya kalau naik angkot biayanya saja sudah bisa untuk sewa 3 buku komik. Dasar perhitungan!

Biasanya di Gramedia, hanya 2 hal yang saya lakukan, membaca novel dan komik gratisan atau mencatat buku-buku yang saya suka, hanya mencatat ya, bukan membeli. Jangan lupa, saat itu saya tidak mampu melakukan hal ini. Catatan itu jadi bekal untuk saya menyewa buku, tujuannya agar buku yang saya sewa sesuai harapan, yang bagus isi ceritanya. Saya tentunya tidak bisa sembarangan menyewa, karena keterbatasan dana, jadi mau tidak mau saya harus berstrategi. Situasi ini berlangsung sampai saya lulus SMA. Saya sadar, kebiasaan saya diam-diam membuka sampul buku dan membacanya dipojokan Gramedia itu tidak dibenarkan, mungkin bisa dinilai merugikan toko buku, penerbit, dan penulis. Namun apa daya, kemampuan finansial belum setara dengan nafsu membaca.

Saat kuliah, kira-kira awal tahun 2010, kondisi keuangan saya membaik. Sejak saya jadi pemandu wisata khusus akhir pekan (karena di UI absen lebih dari 3x tidak boleh ikut UAS) saya jadi punya pendapatan tambahan disamping beasiswa, jadi punya sedikit kebebasan membeli buku. Sejak saat itu, saya ke Gramedia bukan hanya membaca dan mencatat lagi, tetapi membeli — Hore! Saya selalu menyisihkan uang untuk membeli minimal 2 buku setiap bulannya. Alhasil, ketika lulus kuliah, saya membawa banyak sekali buku ke kampung halaman. Lemari buku tua Abah sampai rusak karena keberatan!

Sampai saat ini, saya masih rajin membeli minimal 2 buku setiap bulannya. Yang membedakan, saya sudah mampu membeli buku impor yang harganya bisa dibilang lebih mahal. Namun, karena ada keperluan lain yang wajib saya penuhi, biasanya saya unduh secara ilegal di lama buku gratis kemudian saya baca di e-reader. Suatu hari, ketika penghasilan saya lebih mapan, saya pasti akan mengakhiri kebiasaan ini, yaitu dengan membeli buku asli. Untuk sementara, biarlah seperti ini, yang penting kan sudah berniat — hehe.

Jika nanti sudah mampu membeli semua buku yang saya mau, mungkin saya perlu punya ruang baca pribadi ya! Buku-buku dikelompokkan bedasarkan abjad dan topik, tersusun rapi dan punya nomor panggil, seperti perpustakaan. Di ruang itu juga harus ada kursi empuk dan nyaman, juga meja kecil untuk meletakkan minuman dan cemilan. Andai saya punya ruang baca pribadi, pasti saya makin rajin membaca dan beli buku! Mungkin juga makin produktif menulis … mungkin ya.

Posted in Sosial | Leave a comment

Langit Yang Sama

Sejak remaja, tepatnya lulus sekolah dasar, memandang langit selalu membawa pikiran saya berkelana tentang masa depan. Kebiasaan ini berawal saat saya terpaksa dihadapkan pada dua pilihan yang saya anggap penting saat itu (Murid SMP, 2003). Sebagai pelajar dengan uang jajan pas-pasan, saya harus memilih; jajan di kantin sekolah tapi pulang jalan kaki atau hanya makan bekal dari rumah dan pulang naik becak – sesederhana itu. Biasanya, saya hampir selalu memilih opsi yang pertama, apalagi kalau cuaca sedang mendung. Sebagai alibi, jalan kaki itu olah raga, meskipun di tengah perjalanan, saya sering juga menyesalinya. Selain karena jaraknya cukup jauh, cuaca sering berubah drastis, awan cumulonimbus yang seharusnya meneteskan hujan, tertiup angin, yang hadir adalah panasnya terik sinar matahari.

Kombinasi jarak dan cuaca tak menentu membimbing saya untuk terbiasa berkontemplasi, membunuh sesal karena memilih jalan kaki. Saat masih SMP, saya membangun mimpi untuk bisa melanjutkan sekolah ke SMA terbaik. Sembari melihat langit, saya menerka-nerka apa yang harus dilakukan untuk bisa mencapai target itu. Seperti bangun dini hari untuk belajar atau ikut les ini itu sebagai tambahan. Kalau ditelaah lebih dalam, mimpi dan cita-cita saya tidak pernah jauh dari sekolah dan sekolah. Sama halnya saat SMA, sepanjang jalan menuju rumah menatap langit yang sama, saya membayangkan kelak akan merantau ke Pulau Jawa (saya tinggal di Pulau Sumatera – Lampung), sekolah di kampus yang punya perpustakaan besar, diisi oleh tenaga pengajar handal dan kawan-kawan yang berasal dari pulau-pulau lain di Indonesia. Meskipun akhirnya saya harus mengubur mimpi kuliah di Bandung, untuk cukup bersyukur bisa menghabiskan empat tahun penuh pembelajaran di Depok.

Kebiasaan melihat langit untuk membuang bosan terus berlangsung hingga usia lebih dewasa. Ketika sedang merenung di kamar kecil Asrama UI, saya melihat keluar jendela, masih langit yang sama, membayangkan perihal yang tidak jauh berbeda, tentang sekolah di benua lain. Saat itu, mimpi yang saya bangun adalah bersekolah ke Amerika Serikat. Beragam informasi mulai saya kumpulkan, tentang jurusan dan kampus yang saya inginkan. Ketika orang sibuk berakhir pekan, saya terdiam di Fakultas Ilmu Budaya untuk kursus IELTS. Pada saat bersamaan saya mencari alternatif negara sebagai cadangan kalau seandainya cita-cita ke Amerika tidak tercapai.

Di jendela perpustakaan, saya memandangi langit yang sama, membayangkan apakah akan ada kesempatan untuk saya melihat langit ini di Benua Biru, di Jerman atau mungkin di Inggris. Namun, saya sadar untuk bisa melanjutkan sekolah ke Jerman saya harus menguasai bahasanya. Melihat kondisi keuangan yang tidak memungkinkan untuk ikut les Bahasa Jerman, saya akhirnya fokus pada negara-negara yang menggunakan Bahasa Inggris saja. Hingga akhirnya, mimpi saya berlabuh di Belanda, negeri angin dengan jutaan sepeda.

Di penghujung tahun 2016, dari jendela student housing saya mengamati langit yang sama, membangun kembali mimpi untuk bisa melihat langit dari Jerman dan Inggris. Sejak saat itu, saya meyakinkan diri untuk mengambil topik tesis yang memungkinkan saya mengambil data di salah satu negara tersebut. Terhalang oleh keluarnya Inggris dari Uni Eropa, saya memaksa diri untuk memilih Jerman sebagai lokasi pengambilan data. Sebulan sebelum turun lapangan, saya kembali merenung, apa yang harus saya lakukan di Jerman nantinya. Saya tidak bisa bahasanya, tidak kenal budayanya, dan tidak satupun informan yang membalas pesan saya. Sampai akhirnya saya memaksa diri untuk yakin, akan ada jalan keluar untuk setiap orang yang mau berusaha. Singkat kisah, di jalan setapak hutan desa di Bavaria Utara, saya mengintip langit yang sama, yang sedikit terhalang oleh rimbunnya pepohonan.

Setahun berlalu, dari jendela kamar di Bandung Selatan, saya menyapa langit yang sama, sambil membayangkan untuk merajut kembali mimpi yang sempat tertunda. Mungkin menatap langit di Negara (yang mengaku) Adidaya atau juga kembali ke benua biru, untuk memandangi langit yang sama di Kerajaan Britania Raya. Semoga.

Mendung, akhir Januari 2019.

Posted in Jalan-Jalan | Leave a comment

Terima Kasih Abah (Mertua)

“Wenty, nanti di Belanda, jangan makan makanan kaleng ya, ga bagus itu”,- (Abah, 2016)

“Wenty, kalau bisa baca Surah Ar-Rahman tiap hari ya”, – (Abah, 2017)

“Wenty, kalau kamu sempat, tiap hari baca Surah Maryam, biar nanti anak kamu cantik”,- (Abah, 2018)

“Ia Abah, siap laksanakan”

Penghujung bulan Agustus tahun 2015, adalah pertemuan pertama saya dengan Abah (mertua). Saat itu, percakapan kami begitu santai, beliau bercerita singkat tentang keluarganya yang juga berasal dari Palembang, bertanya tentang keluarga saya di Lampung, minta diceritakan bagaimana bisa kenal dengan anaknya, selebihnya berisi tawa dan canda. Hal-hal yang terjadi setelahnya adalah deretan kisah yang membuat saya nyaman berada dekat dengan keluarga ini. Dari Abah, saya belajar tentang ketulusan dan berfikir terbuka. Tulus dalam berkata apa adanya dan menerima orang baru dengan cara yang sederhana, tidak perlu terlalu kaku dan serius.

“Wenty, kamu pertama kali liat abah, kesannya apa?” || “Humoris, soalnya Abah ketawa terus waktu itu, becandain Wenty” || “Ohh gitu ya” — Kami pun tertawa bersama. (setelah makan siang, 3 minggu lalu)

Di akhir tahun 2015, penyakit jantung menghampiri Abah, pertemuan itu menjadi kali pertama untuk saya melihat beliau meneteskan airmata. Tetapi mungkin sudah karakternya, tidak lama berselang, kami sudah tertawa untuk hal-hal sederhana, seperti: kenapa Roti Sidodadi enak, kenapa tangan kiri Abah tidak bisa diangkat setinggi ketiak, dan dialog ringan lainnya. Dari pertemuan itu, saya belajar tentang kesabaran: sabar menghadapi cobaan dan sabar menghadapi kenyataan yang tidak sesuai harapan.

April 2016, Abah mengajak saya berbicara empat mata, beliau menyampaikan permintaan maaf karena tidak bisa menghadiri pernikahan saya dengan anaknya di Lampung.  Kesehatan Abah saat itu tidak memungkinkan untuk perjalanan jauh. Abah meyakinkan saya bahwa beliau telah merestui pernikahan kami dan menjelaskan bahwa ketidakhadiran beliau adalah murni karena faktor kesehatan. Seperti biasa, keseriusan ini diakhir dengan guyonan khas Abah, tersenyum hingga kelopak matanya tertutup sebagian dan tertawa sampai tekekeh. Dari Abah, saya belajar tentang keikhlasan. Menerima dengan lapang dada kesenjangan antara harapan dan kenyataan.

Setelah menikah pada awal Mei 2016, saya hanya punya waktu tiga bulan untuk mengenal Abah. Karena setelah itu saya dan suami merantau ke Belanda. Selama tiga bulan itu, tidak banyak interaksi serius yang terjadi, seperti waktu yang telah berlalu sebelumnya, semua berjalan santai dan apa adanya. Tidak pernah saya mendengar Abah berbicara kasar atau marah, nada suara selalu khas orang sunda, pelan dan mengalun, sangat santun.

Selama di Belanda (2016 – 2018), kami jarang berkomunikasi, karena setiap menelpon via suara atau video, Abah selalu meneteskan air mata. Sehingga, percakapan selalu singkat dan penuh pesan-pesan sederhana, seperti mengingatkan untuk membaca Al-Qur’an, jangan melewatkan shalat, perbanyak shalat malam, dan pesan ibadah lainnya. Tidak pernah sekalipun Abah memberikan pesan yang memberatkan atau amanah lainnya yang sulit dikerjakan.

Bahkan, ketika kami akan pulang ke Indonesia, oleh-oleh yang abah pesan hanya permen kopi susu, tidak ada yang lain. Saya sudah bertanya berkali-kali, apakah Abah mau dibawakan hal lain, beliau hanya ingin dibawakan permen kopi-susu khas Belanda yang dulu sering dibelikan Ibunya saat Abah muda, Permen Hopjes. Dari Abah, saya belajar tentang kesederhanaan, sederhana dalam berfikir, berkata, dan bertindak.

Seminggu yang lalu (Jumat, 5 Oktober 2018), Abah memberi kesempatan kepada saya untuk menjadi yang pertama merasakan proses kepergiannya menghadap Allah SWT. Tiga puluh menit menjelang wafatnya, saya dengan tangan gemetar dan hati bergetar memberikan tiga buah pil yang biasa dikonsumsi saat Abah merasa sakit dibagian dadanya disertai dengan nafas yang sesak dan berat. Tidak lama berselang, beliau mengajarkan saya untuk tidak panik menghadapi situasi, Abah menyuruh saya mengambil air minum dan meminta saya untuk membiarkan beliau istirahat.

Sepuluh menit setelahnya, Abah ke kamar mandi, saya yakin saat itu Abah sedang wudhu untuk shalah ashar. Saya melirik Abah yang keluar dari kamar mandi dengan santai, nafasnya sudah mulai teratur. Ketenangan saya bertambah, karena tidak lama setelahnya, Adik Ipar (Ade) saya sudah kembali ke rumah. Kami berbincang di meja makan, yang lokasinya sangat dekat dengan kamar Abah. Namun, hati saya kembali gusar, entah mengapa, saya tidak mendengar bunyi tabung gas oksigen yang sedang digunakan, saya tidak mendengar suara Abah dengan bacaan shalatnya, saya tidak mendegar tarikan nafas yang berat setiap kali Abah bangun dari sujudnya.

Saya semakin yakin ada yang tidak beres, karena beliau acapkali keluar kamar jika ada yang berbincang di meja makan, sekedar minum air atau ikut bercengkrama bersama. Kemudian, kesadaran saya terguncang, ketika Ade mulai menangis sambil menggerak-gerakan tubuh Abah, beretorika tentang perut dan dada Abah yang tidak bergerak, dan nafas abah yang terhenti. Kejadian setelah itu, terekam sebagai memori terakhir saya melihat Abah yang tenang dalam ‘tidur’nya, tangannya yang dingin, wajahnya yang tenang dengan mata tertutup, layaknya orang yang sedang menikmati tidur yang pulas. Dari Abah, bertambahlah iman saya terhadap Sunnatullah, bahwa manusia akan kembali kepada-Nya dalam situasi yang sesuai dengan kebiasaannya. Seperti halnya Abah, menghadap Allah dalam keadaan tenang, suci dalam wudhunya, dan selesai menjalankan ibadah wajibnya.

Terima kasih Abah sudah memberikan kesempatan kepada Wenty untuk merasakan kasih sayang yang tulus, mengajarkan kesederhanaan, dan selalu memberikan rasa tenang. Terima kasih Abah, senyum dan gelak tawamu akan selalu menjadi kenangan tanpa batas.

Bandung.

Jumat, 12 Oktober 2018 – 15.00 WIB

Posted in Sosial | Leave a comment

Perut dan Identitas (Makanan)

Sejak awal Agustus 2018, rutinitas saya di pagi hari hampir selalu sama, salah satunya adalah jalan kaki mengelilingi kompleks Taman Kopo Indah. Biasanya saya selalu ditemani oleh Mamah, ke Pasar Sayati atau ke Superindo, pulangnya mampir ke tukang koran, untuk membeli Koran Kompas. Rute perjalanan kami selalu sama, tujuannya olah raga dan membeli kebutuhan pangan harian. Sebenarnya, Mamah bisa saja menitip belanjaan ke suami saya, namun karena mertua saya sangat baik dan pengertian, dengan alasan olah raga, beliau selalu menemani saya jalan pagi. Kecuali kalau ada jadwal mengaji di Masjid Agung atau ada kondangan. Seperti halnya pagi ini, Mamah harus ke Tasikmalaya, sahabatnya menikahkan anak. Jadi, saya jalan sendiri ke rute yang lebih singkat, ke tukang koran dan membeli air kelapa muda (katanya air kelapa baik dikonsumsi ibu hamil).

Sepanjang jalan, agar tidak melamun, saya memperhatikan setiap tempat makan yang dilewati; gedung permanen ataupun gerobak pinggir jalan. Ternyata 90% penjual makanan menampilkan nama makanan + asal daerah, sebagai identitas (?). Meskipun begitu, saya tidak yakin penjualnya asli berasal dari daerah tersebut. Sepanjang jalan, mata dan selera makan saya ‘berkelana’ ke Jawa dan Sumatera. Ternyata, saya tidak menemukan makanan dari kawasan Tengah dan Timur Indonesia. Saya tidak berani berasumsi, karena observasi ini tidak disertai dengan tanya jawab ke pembeli maupun penjual. Mungkin, bisa jadi lahan bisnis makanan, yang berbeda dari yang lainnya.

Soto, nasi uduk, nasi kuning, dan bubur ayam mendominasi ‘jalanan’, mungkin karena pagi hari. Untuk jenis soto lebih beragam asalnya; Soto Lamongan, Soto Bogor, dan Soto Banyumas. Sedangkan bubur ayam saya hanya melihat Bubur Ayam Sukabumi. Selain itu, masih dengan makanan khas Pulau Jawa, ada; Ubi Cileumbu, Gudeg Jogja, Tahu Tegal, Pecel Madiun, Rawon Jawa Timur, Pecel Pincuk Jawa Timur, dan Ketoprak Jakarta. Hanya dengan berjalan tidak lebih dari 1.5 Km saya sudah bisa ‘keliling’ Jawa! Tidak hanya itu, santapan dari Pulau Sumatera juga tidak kalah pamornya. Saya melihat antrean cukup panjang di penjual Masakan Padang dan Nasi Medan, sepagi itu orang-orang sudah menyantap makanan ‘berat’.

Ada satu hal yang menarik perhatian saya, sebuah tempat makan betuliskan; Rumah Makan Cina. Identitas yang satu ini cukup ambigu buat saya, masuk kategori makanan nusantara ataukan mancanegara (luar negeri)? Karena kalau kita tarik sejarahnya (baik modifikasi orde baru ataupun versi lainnya), diksi ‘Cina’ cukup sensitif. Identitas yang melekat pada makanan atau pada individu? Ah, masa sih hanya karena makanan kita membahas identitas? … Tapi kalau memang nihil makna, kenapa harus ada jenis makanan ini dan itu yang disertai nama asalnya? Kenapa tidak disebutkan saja secara general, misal Makanan Enak, Soto Lezat, atau lainnya … terlalu subjektif? Ah, mungkin pikiran saya saja yang terlalu berlebihan, toh prinsip dasar jual beli makanan itu sederhana, penjual untung, pembeli kenyang! Bicara prihal perut memang sederhana, kan!?

Cuplikan Pagi (1)

Posted in Sosial | Leave a comment

Resensi Deskriptif: The Happiest Baby on the Block – Harvey Karp, M.D.

Beberapa bulan belakangan ini, saya selalu menyisihkan waktu untuk membaca buku-buku tentang kehamilan, kelahiran, tumbuh kembang bayi, pola asuh, cerita dongeng dan artikel pendukung lainnya. Alasannya cukup sederhana, karena saya tidak menyukai mitos dan informasi-informasi minim logika dan fakta. Terlebih, informasi yang tidak diketahui sumbernya, misal perbincangan yang diawali/diakhiri dengan “katanya sih gitu” atau “udah gitu dari jaman dulu juga” dan seterusnya.

Tulisan ini bertujuan untuk mengingat kembali poin-poin penting dalam buku yang sudah (atau sedang) saya baca, sifatnya deskriptif. Saya akan membahas per bagian (atau per bab) dari buku tersebut. Karena saya belum punya pengalaman pribadi untuk setiap buku yang saya baca, jadi ulasannya akan minim kritik, hanya membahas berdasarkan sudut pandang penulis buku. Kalau nanti sudah dipraktekkan di kehidupan nyata, mungkin tulisan ini akan berkembang menjadi resensi kritis. Mari kita mulai ….

the happiest baby on the block

Judul buku: The Happiest Baby on the Block | Penulis: Harvey Karp, M.D. | Penerbit: Bantam Dell, New York – 2002

Buku ini terbagi menjadi dua bagian; 1) mengulas secara singkat perkembangan teori dan metode menenangkan bayi yang menangis, 2) menjelaskan secara rinci teknis cara menenangkan bayi yang (menurut buku ini) lebih aman dan efektif: The 5 “S’s”.

Bagian Pertama

Penulis adalah seorang Pediatric yang telah mempelajari bidang ilmu ini sejak awal tahun 1970-an. Satu hal yang menjadi fokus studinya adalah tentang teknis menenangkan bayi yang manangis; dari cara-cara tradisional sampai intervensi medis. Hingga akhirnya, penulis menyimpulkan bahwa cara-cara tradisional dinilai lebih aman dan efektif untuk meredam tangisan bayi. Sebagai catatan, penulis fokus pada satu tahun awal perkembangan bayi.

Pada bagian awal, buku ini menceritakan secara singkat sejarah perkembangan teori dan mitos penyebab bayi lebih sering menangis pada awal kelahiran. Jadi, sebelum membahas bagaimana (how to) menenangkan bayi yang menangis, buku ini diawali dengan penjelasan kenapa (why) bayi itu menangis. Buku ini juga disertai dengan contoh kasus dalam setiap pembahasannya, sehingga pembaca lebih mudah memvisualisasikan dan membandingkan dengan kondisi yang sedang dihadapi.

Salah satu hal yang menarik dalam penjelasan kenapa bayi manusia lebih sering menangis (dibandingkan bayi kuda, gajah, sapi dan lainnya), adalah karena bayi manusia lahir 3 bulan lebih cepat dari waktu seharusnya. Maksudnya prematur? Bukan juga, jadi analoginya, bayi hewan seperti kuda misalnya, dalam waktu beberapa hari sudah bisa menirukan kebiasaan kuda dewasa, seperti berdiri, berlari, mencari makan, dan sebagainya. Sedangkan bayi manusia, sangat tergantung pada orang tua asuhnya, segala sesuatu harus dengan bantuan. Selain itu, bayi manusia hanya bisa menangis untuk dapat berkomunikasi dengan lingkungan luarnya. Singkatnya, si bayi merasa lebih nyaman ketika masih dalam kandungan (uterus) ibunya. Jadi, penulis buku ini menyimpulkan, manusia perlu mengimitasi (menirukan) situasi yang dialami bayi dalam kandungan. Memberikan kondisi senyaman mungkin, sebagaimana yang bayi rasakan saat masih dalam kandungan. Hal ini yang kemudian dijelaskan dalam 5 cara teknis menirukan kondisi bayi dalam kandungan sehingga bayi tidak terus-menerus menangis. Kurang lebih begitu latar belakang munculnya metode yang ditawarkan dalam buku ini.

Ada 5 cara tradisional yang ditawarkan penulis untuk meredam tangisan bayi, yang kemudian dikenal dengan The 5 “S’s”. Berikut adalah pemahaman singkat saya tentang definisi masing-masing tekniknya (untuk visualisasinya bisa dicari di Mbah Gugel ya):

  1. Swaddling: membedong bayi
  2. Side/stomach: menggendong atau meletakkan bayi pada pada posisi kanan kiri atau perutnya
  3. Shusing: menenangkan bayi dengan desahan “ssssshhhhh”
  4. Swinging: mengayunkan bayi
  5. Sucking: menyusuii bayi dengan ASI, jari atau pacifier

Kelima cara diatas dipraktekkan berurutan, seperti analogi yang diberikan oleh penulis; teknis pelaksanaannya seperti membuat layer cake, memastikan lapisan pertama ‘berhasil’ kemudian dilanjutkan ke lapisan-lapisan berikutnya, hingga menjadi sebuah kue lapis yang utuh. Untuk penjabaran teknisnya, dijelaskan pada bagian kedua buku ini.

Selain itu, ada juga ulasan tentang perkembangan definisi dan teori Baby – Colic, berdasarkan pemahaman saya, colic adalah kondisi dimana bayi sering menangis yang menghabiskan waktu lebih dari tiga jam perhari. Mungkin bahasa gaulnya; bayi cengeng 🙂 Kok ribet ya? teoritis banget ya? — Jangan khawatir, tulisan ini disajikan dalam bentuk penjabaran singkat yang mudah dipahami oleh pembaca amatir, tidak dibutuhkan latar belakang akademis untuk bisa memahami bagian pertama buku ini. Yang pasti, menarik dan menambah wawasan!

Bagian kedua

(bersambung … masih dibaca :D)

 

 

 

Posted in Kehamilan, Resensi Buku | Leave a comment

Ibu dan Bapak ke Rumah Nijntje

Ternyata, harga buku dongeng untuk anak itu tidak semurah yang saya bayangkan, meskipun ceritanya sangat sederhana dengan gambar yang tidak rumit. Harganya, bisa lebih mahal jika tokoh yang diceritakan menjadi ciri khas sebuah bangsa, contohnya tokoh karakter Nijntje dari Belanda. Singkat cerita, tercetus ide (semoga) kreatif; kenapa tidak saya karang sendiri saja cerita dongeng ini?! Nantinya, saya bisa memasukkan pesan-pesan pribadi untuk anak saya. Namun, karena saya (dan suami) tidak ada jiwa seni, kami pinjam saja tokoh negeri angin ini. Saya rasa sah saja, selama saya mencantumkan referensi dan tidak dikomersilkan.

Dengan semangat itulah, saya dan suami mengunjugi Museum Nijntje yang terletak di Utrecht. Kemudian, kami mengabadikan sejumlah foto yang nantinya akan saya ‘sulap’ menjadi dongeng untuk anak kami. Judul dan isi cerita berdasarkan daya imajinasi saya sendiri, beberapa poin juga saya diskusikan dengan suami. Semoga dongeng sederhana ini bisa dipahami oleh anak kami dan cocok dengan daya imajinasinya. Maklum, gaya bahasa saya kemungkinan tidak jauh berbeda dengan tata bahasa penelitian, yang kaku dan membosankan. Tapi, apa salahnya mencoba, ya kan?!

Dongeng ini, akan dibagi berdasarkan tema ruangan yang ada di Museum Nijntje. Baiklah, mari kita mulai, dongeng ala Ibu dan Bapak. Judul dongeng pertama ini adalah Ibu dan Bapak ke Rumah Nijntje. Siap-siap ya, semoga masuk akal — hahaha 😀

IMG_2092

Ibu dan Nijntje

Pada suatu pagi, ibu dan bapak main ke rumah Nijntje di Utrecht | Ibu foto bersama Nijntje di depan rumahnya | Ibu memakai baju berwarna biru, sedangkan Nijntje memakai baju berwarna merah | Setelah berfoto, Nijntje mengajak Ibu dan Bapak masuk ke rumahnya.

IMG_2101

Nijntje, Orang tuanya, dan Hewan Peliharannya

Di dalam rumah, Ibu melihat foto Nijntje, Orang tuanya, dan juga hewan peliharan mereka| Mama dan Papa Nijntje memakai baju berwarna biru, sedangkan Nijntje memakai baju berwana orange | Ada juga foto Nijntje memakai baju berwarna biru dan kuning | Hewan peliharaan Nijntje juga dipakaikan baju, berwarna hijau dan biru.

IMG_2111

Garasi Rumah Nijntje

Setelah itu, Nijntje mengajak Ibu dan Bapak masuk ke Garasi rumah | Di dalam garasi, Nijntje mengerjakan tugasnya sebagai tukang kayu | Disana, Ibu melihat ada kayu, paku, dan palu | Nijntje mengajarkan Ibu cara memasang paku ke kayu dengan menggunakan palu | Tuk tuk tuk, begitulah bunyi ketukan palu ke paku.

IMG_2112

Kayu, Paku, dan Palu

Siang hari, Nijntje mengajak Ibu dan Bapak ke dapur | Di dapur, Ibu membantu Nijntje memasak | Ada kompor, katel, panci, spatula, dan pisau | Ibu memasak wortel dan menggoreng telur | Setelah makanan siap, Nijntje membawanya ke ruang makan.

IMG_2119

Dapur Nijntje

Di ruang makan, ada piring, gelas, teko, sendok, dan garpu | Kami makan diatas meja dengan rapi sambil menonton televisi | Nijntje suka sekali makan sayur wortel karena bagus untuk kesehatan mata | Bapak dan Ibu suka makan telur, karena mengandung banyak protein | Kami memakan semua masakan sampai habis | Setelah itu kami bersama-sama membereskan ruang makan.

IMG_2116

Ruang Makan Nijntje

Selesai makan siang, Nijntje mengajak Ibu dan Bapak ke taman bunga di belakang rumahnya | Disana ada Mama dan Papa Nijntje yang sedang membersihkan taman | Mama Nijntje sedang menanam bunga | Papa Nijntje sedang menyiram bunga | Taman bunga Nijntje sangat bersih dan rapi.

IMG_2108

Taman Bungan Nijntje

Setelah berkebun, baju kami menjadi kotor karena tanah | Ibu membantu Nijntje mencuci dan menjemur baju | Baju yang sudah dicuci digantungkan di jemuran baju | Ibu menjepit baju di tali jemuran supaya baju tidak mudah jatuh tertiup angin | Baju Nijntje ada tiga, berwarna orange, hijau, dan kuning.

IMG_2125

Jemuran Baju Nijntje

Karena sudah sore, Nijntje segera mandi dan ganti baju, supaya bersih dan segar | Ibu dan Bapak menunggu Nijntje di ruang tamu | Nijntje sudah ganti baju berwarna kuning | Sebelum pulang, Ibu berfoto bersama Nijntje.

IMG_2104

Ruang Tamu Nijntje

Ibu, Bapak, dan Nijntje berencana akan bertemu lagi minggu depan | Kami akan pergi ke Kebun Binatang | Sampai jumpa di cerita berikutnya: Ibu, Bapak, dan Nijntje bertamasya ke Kebun Binatang.

(bersambung …)

Senja di Amsterdam – July 2018

Posted in Dongeng Anak, Eropa, Jalan-Jalan, Kehamilan | Leave a comment